Kontroversi Pasal Baru KUHP: Antara Pembaruan Hukum dan Ancaman Kebebasan Berpendapat

Latar Belakang Pembaruan KUHP Nasional
Pemerintah Indonesia resmi mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru sebagai pengganti KUHP warisan kolonial Belanda yang telah berlaku selama lebih dari satu abad. Langkah ini disebut sebagai bentuk reformasi hukum nasional yang dinilai penting untuk menyesuaikan sistem hukum Indonesia dengan nilai-nilai sosial, budaya, dan moral bangsa. Namun, di balik semangat pembaruan ini, muncul gelombang kritik dari berbagai kalangan, terutama mengenai sejumlah pasal yang dianggap berpotensi mengancam kebebasan berpendapat.

Tujuan Pembaruan KUHP
Menurut pemerintah, tujuan utama pembaruan KUHP adalah menciptakan sistem hukum pidana yang lebih kontekstual dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. KUHP baru diharapkan dapat memperkuat kedaulatan hukum nasional dan menghapuskan ketergantungan terhadap hukum kolonial. Akan tetapi, sebagian pihak menilai bahwa di balik semangat tersebut, terdapat pasal-pasal yang justru bisa mengekang hak-hak dasar warga negara.
Pasal yang Menjadi Sorotan Publik
Salah satu pasal yang paling menuai kontroversi adalah pasal mengenai penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara. Pasal ini dianggap berpotensi disalahgunakan untuk membungkam kritik publik terhadap kebijakan pemerintah. Beberapa organisasi masyarakat sipil, jurnalis, dan akademisi menilai bahwa rumusan pasal ini masih terlalu umum dan membuka ruang interpretasi yang bisa merugikan kebebasan berekspresi.
Dampak terhadap Kebebasan Pers
Kalangan jurnalis menyoroti bahwa pasal-pasal tersebut dapat menghambat kerja media dalam mengungkap kebenaran dan melakukan kontrol sosial terhadap kekuasaan. Jika kritik terhadap pejabat publik dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, maka fungsi pers sebagai pilar demokrasi akan terancam. Dewan Pers pun telah menyampaikan rekomendasi agar penegakan hukum terhadap karya jurnalistik dilakukan melalui mekanisme etik, bukan pidana.
Reaksi Masyarakat dan Akademisi
Kontroversi ini memicu perdebatan luas di berbagai forum publik, baik di media sosial maupun dalam diskusi akademik. Banyak yang berpendapat bahwa pembaruan hukum memang perlu, tetapi tidak dengan mengorbankan hak konstitusional warga negara. Para akademisi menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan perlindungan terhadap kebebasan sipil.

Pandangan dari Aktivis dan LSM
Berbagai lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang kebebasan berekspresi, seperti SAFEnet dan KontraS, menyatakan keprihatinannya terhadap arah kebijakan hukum yang dinilai semakin represif. Mereka menegaskan bahwa demokrasi tidak akan berjalan sehat tanpa ruang bagi kritik dan kebebasan berpendapat. Pemerintah diharapkan lebih terbuka terhadap masukan publik agar pasal-pasal yang multitafsir dapat direvisi.
Pandangan Pemerintah terhadap Kritik Publik
Pemerintah menegaskan bahwa tidak ada niat untuk membungkam kebebasan berpendapat. Menurut pernyataan resmi dari Kementerian Hukum dan HAM, pasal-pasal dalam KUHP baru telah dirancang dengan prinsip kehati-hatian dan tetap menghormati hak asasi manusia. Pemerintah juga beralasan bahwa pembatasan tertentu diperlukan untuk menjaga ketertiban umum dan mencegah penyebaran ujaran kebencian.
Penegasan soal Kebebasan yang Bertanggung Jawab
Pemerintah menganggap bahwa kebebasan berekspresi harus berjalan seiring dengan tanggung jawab sosial. Artinya, warga negara tetap berhak mengkritik pemerintah, tetapi harus dilakukan secara konstruktif dan tidak menyerang kehormatan pribadi. Meski demikian, pandangan ini masih dianggap belum cukup meyakinkan oleh sebagian masyarakat, karena implementasi di lapangan sering kali tidak sejalan dengan teori.
Tantangan Implementasi di Lapangan
Salah satu kekhawatiran utama masyarakat adalah bagaimana pasal-pasal tersebut akan diterapkan oleh aparat penegak hukum. Dalam praktiknya, hukum sering kali dijalankan secara diskriminatif atau digunakan untuk menekan kelompok tertentu. Oleh karena itu, revisi aturan tanpa reformasi penegakan hukum bisa menimbulkan persoalan baru yang lebih kompleks.
Peran Pengawasan Publik
Untuk mencegah penyalahgunaan wewenang, peran masyarakat sipil dan lembaga pengawas menjadi sangat penting. Transparansi dalam proses hukum harus dijamin agar pasal-pasal dalam KUHP baru tidak digunakan sebagai alat politik. Lembaga-lembaga seperti Komnas HAM, Dewan Pers, dan Ombudsman diharapkan bisa berperan aktif dalam mengawasi penerapan hukum secara adil dan proporsional.
Pembelajaran dari Negara Demokrasi Lain
Sejumlah pakar hukum menilai bahwa Indonesia dapat belajar dari negara-negara demokrasi yang telah lebih dulu melakukan pembaruan hukum pidana. Di banyak negara, penghinaan terhadap pejabat publik tidak lagi dipidana, karena dianggap sebagai bagian dari hak berekspresi. Indonesia perlu menyesuaikan kebijakan hukumnya agar sejalan dengan standar hak asasi manusia internasional tanpa mengabaikan konteks lokal.
Jalan Tengah untuk Pembaruan Hukum
Beberapa akademisi menawarkan jalan tengah berupa revisi terbatas terhadap pasal-pasal kontroversial, tanpa mengubah keseluruhan struktur KUHP. Dengan cara ini, semangat pembaruan tetap terjaga, namun kebebasan warga negara tidak dikorbankan. Langkah ini juga dianggap realistis karena dapat dilakukan melalui mekanisme legislasi tanpa perlu menunggu perubahan besar.
Penutup: Antara Modernisasi dan Demokrasi
Kontroversi pasal baru KUHP mencerminkan tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam menyeimbangkan antara modernisasi hukum dan kebebasan demokratis. Reformasi hukum memang diperlukan untuk memperkuat kedaulatan hukum nasional, tetapi harus tetap berpihak pada prinsip keadilan dan hak asasi manusia. Ke depan, transparansi, partisipasi publik, dan komitmen terhadap kebebasan berpendapat akan menjadi kunci dalam memastikan bahwa KUHP baru benar-benar menjadi simbol kemajuan hukum, bukan kemunduran demokrasi.




